Friday 8 January 2016

GURU IKHLAS

Ikhlas adalah kata yang umum kita dengar sehari-hari. Teman atau kerabat kita sering mengatakan "ikhlaskan saja.... " ketika kita kehilangan barang atau uang. Ketika ada orang terdekat kita yang meninggal dunia kata ikhlas pasti sering sekali kita dengar "yang sabar yaa.. ikhlaskan kepergiannya, ini yang terbaik untuknya". Masih banyak sekali variasi kata ikhlas, tapi intinya meminta kita untuk menerima keadaan yang terjadi.

Pengertian ikhlas sangat luas, tak akan cukup halaman buku untuk menuliskan penjabarannya, tak cukup waktu untuk membicarakannya. Tapi kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa Ikhlas adalah menerima kondisi yang terjadi pada diri atau lingkungan kita tanpa ada keberatan. Bagi umat muslim hal ini sudah dipelajari sejak kecil, ketika belajar rukun Iman. Ikhlas ada pada rukun Iman ke 6, beriman pada takdir baik dan takdir buruk.

Ketika kita kehilangan benda yang kita sayangi, pasti kita akan bersedih, marah dan menggerutu. Hal itu adalah wajar dan manusiawi. Butuh waktu untuk menerima kondisi tersebut dan merelakan benda yang hilang tersebut. Butuh waktu untuk ikhlas. Berapa lama waktu yang dibutuhkan sangat tergantung pada masing-masing orang. Agar bisa secepatnya kondisi negatif (sedih atau marah) secepatnya pulih, perlu melatih diri agar secepatnya bisa ikhlas. Bagaimana caranya?

 Guru saya mengatakan bahwa ikhlas itu mudah dan juga sulit. Mudah diucapkan tapi sulit dipraktekkan. Kita semua mungkin mengamini kata guru saya tersebut. Agar bisa secepatnya mempraktekkan ikhlas dalam hidup sehari-hari, kita perlu memahami dengan baik bahwa semua kejadian adalah takdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Sebagian mengatakan bahwa ikhlas adalah ilmu tingkat tinggi yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Benarkah seperti itu? tidak sepenuhnya benar. Dimana dan kepada siapa kita bisa belajar ilmu ikhlas?
Secara teori saya yakin semua orang sudah paham, tapi pada saat prakteknya banyak yang mengeluh "itukan teori... prakteknya tidak semudah itu".

Mungkin kita bisa belajar dari kisah penjual anak ayam. Penjual anak ayam itu setiap hari menunggu pembeli di perempatan jalan dekat pos RW. Sering kali dia duduk disamping pos agar terhindar dari sinar matahari atau terpaan hujan. Setiap waktu sholat, ia selalu ada di mesjid yang tidak jauh dari pos RW. Saya pernah mengajaknya berbincang-bincang. Ternyata ia sudah melakoni profesi ini lebih dari 20 tahun. Walau tidak setiap hari ada pembeli tidak membuatnya mengeluh. Katanya hidup ini seharusnya hanya dipakai untuk bersyukur, terlalu banyak hal yang harus disyukuri daripada yang dikeluhkan. Apakah penghasilannya cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya? Menurutnya rejeki yang didapatnya pastilah cukup, karena dia yakin Allah menjamin diri dan keluarganya. Semudah itulah dia menerima hidup ini dengan ikhlas.

Kalau kita mau memperhatikan, disekitar kita banyak sekali yang bisa menjadi guru ikhlas. Tidak perlu mencari jauh diatas gunung atau diseberang lautan. Ketika hati kita pandai bersyukur, maka keikhlasan akan tumbuh dengan sendirinya.

Tulisan ini hanya untuk berbagi, bukan untuk menggurui. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi yang membacanya.

No comments:

Post a Comment